Mungkin Kita Perlu Ilmu Mengenali Diri dan Menanggulangi Patah Hati

        

cred


    Mengenyam pendidikan selama dua belas tahun, pastinya banyak yang sudah kita pelajari. Sebutlah matematika, fisika, ekonomi, sosiologi, maupun pelajaran-pelajaran lain yang tertulis di kurikulum pendidikan kita. Pastinya banyak teori serta rumus-rumus ilmiah yang kita pelajari juga. Aku sendiri, sebagai pembelajar di kurikulum pendidikan Indonesia selama dua belas tahun juga merasakan hal yang sama. Namun, setelah aku menyelesaikan studi pendidikan dasarku dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, aku baru sadar bahwa banyak sekali hal-hal yang mungkin sepatutnya diajarkan di pendidikan kita.

Selepas SMA, aku menyadari betapa susahnya bagi diri aku sendiri untuk menentukan jurusan kuliah, tujuan hidup, bidang yang ingin aku dalami, serta hal-hal yang seharusnya, menurut aku, aku sudah tahu apa yang aku mau. Di sisi lain, dalam perjalanan mendaftar beberapa institusi pendidikan lanjutan, aku sendiri juga bertemu saat-saat dimana harus menghadapi kegagalan, yang kala itu, mengakibatkan aku berhadapan dengan beberapa perasaan negatif yang harus aku perangi.


Sampai suatu hari, aku berpikir bahwa, sepertinya di dalam pendidikan kita, mungkin kita perlu dua ilmu tersebut; tentang ilmu menjelajahi lebih dalam mengenai diri sendiri dan bagaimana berhadapan dengan hal-hal yang ‘terlihat’ kurang menyenangkan.




Mengenal Diri Sendiri : Menggali Lebih Dalam dan Stase Penerimaan


cred



Stase mengenal diri sendiri adalah hal dasar yang seharusnya dipelajari semua orang, bahkan sebelum mereka diterjunkan dalam kerja kelompok. Menurut Watkins (2015) dalam jurnalnya The Importance of ‘Know Yourself’ in Becoming A Lifelong Learner, ditulis bahwa untuk membawa perubahan, proses, serta hasil yang baik dan positif di dalam ruang kelas, siswa seanjurnya diajarkan untuk mengenal diri sendiri, mempraktikkan kerja sama yang baik, dan dapat tahu dengan siapa mereka bekerja sama dalam proses pembelajaran. 


Mengenali diri sendiri adalah ilmu dasar yang akan membawa siswa ke banyak hal krusial dalam hidup. Salah satunya ialah mengetahui apa tujuan dan konsekuensi dari hal-hal yang mereka lakukan. Hal ini juga dapat melatih critical thinking karena siswa dapat menelaah dan menjawab pertanyaan why dari setiap perilaku yang diambil, tidak hanya menjawab pertanyaan what dan  how  saja. Contohnya, ketika seseorang memutuskan untuk belajar suatu subjek. Jika orang tersebut kurang mengenali dirinya sendiri, mungkin ia hanya bisa menjawab bertanyaan ‘what’ (apa yang akan dipelajari), dan ‘how’ (bagaimana cara untuk belajar hal tersebut). Namun, dengan mengenali diri sendiri, orang tersebut pastinya akan bisa menjawab pertanyaan ‘why’ (mengapa aku ingin belajar hal tersebut). Dalam jangka panjang, hal ini akan mengantarkan siswa tersebut untuk menjadi lifelong learner.


Lantas, bagaimana cara mengenali diri sendiri? Dilansir dari Satu Persen (2019), mengenali diri sendiri bisa dimulai dari memulai bertanya pada diri sendiri atas apa yang kita suka, apa yang kita kenal dari diri sendiri, apa hal yang kita kurang suka, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Sampai nantinya kita akan sampai ke pertanyaan apa hal yang kita benci dari diri kita sendiri dan sedang setengah mati mengubah hal itu, atau sampai pada pertanyaan apa yang sebenarnya kita mau capai dalam hidup.


Mengenali diri sendiri juga pastinya membantu kita dalam bersosialisasi dengan orang lain. Kita jadi tahu sampai batas mana kita mau membuka diri karena kita paham dengan prinsip diri sendiri. Kita bisa bergaul dengan baik karena kita tahu skill apa yang kita punya atau harus pelajari saat berhubungan dengan orang lain. Kita pun juga tidak akan mengalami stase dimana kita bingung terhadap apa yang kita rasakan karena kita paham betul apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita sendiri.


Namun, apakah proses menerima diri sendiri ini mudah? Pastinya tidak.


Proses mengenali diri sendiri tentunya butuh penerimaan yang lapang dari diri sendiri. Kita harus siap menerima sisi-sisi buruk di diri kita sendiri, menerima segala kekurangan, menerima segala hal-hal yang harus dipelajari kedepan, menerima bahwa inilah diri kita apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.


Ketika siswa berhasil melewati stase penerimaan inilah, kedepannya pasti akan lebih mudah bagi siswa untuk mencintai diri sendiri, dan dalam sisi akademik pula akan memudahkan mereka untuk memasang target, batasan, serta hal-hal yang akan mempermudah proses pembelajaran serta pembentukan karakter yang baik.


Baca Juga : Sudahkah Aku Mengenal Diriku Sendiri?




Berhadapan dengan Kondisi Sulit : Menanggulangi Patah Hati


cred



Dalam proses pembelajaran itu sendiri, pun pastinya kita juga menghadapi beberapa kegagalan. Momen-momen patah hati. Sebutlah sisi akademik, sisi hubungan personal, dan sebagainya. Sebagai seorang siswa, aku sendiri pun banyak mengalami kegagalan. Kegagalan besar maupun kecil yang selama ini kualami pun tentunya tidak lepas dari rasa sedih yang menyergap. Dalam beberapa kesempatan gagal, sering aku temui kondisi dimana kita harus menghabiskan beberapa waktu untuk berdamai dengan kegagalan tersebut. 


Baca Juga : Kegagalan, Bangkit Mengejar Sukses yang 'Tertunda'


Idealnya, rasa sakit dari ‘patah hati’ itu kan sekiranya, setelah nantinya kita pahami lebih dalam, bisa menjadi bekal kita dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Sakit hati karena nilai jelek berarti bisa jadi bahan evaluasi di ujian selanjutnya. Sakit hati karena belum rezeki dapat hal yang diinginkan berarti bisa jadi ada kesempatan untuk mengulang kedepan. Sakit hati harusnya bisa jadi pertanda bahwa di masa depan nanti, kita bisa belajar untuk menanggulangi agar rasa sakit hati yang dirasakan karena alasan tersebut juga tidak dirasa kembali. Sakit hati, bisa jadi pembelajaran baik dalam menjadikan kita sebagai pembelajar sejati.


Namun, masalahnya adalah belum semua orang memiliki kacamata yang sama dalam melihat sebuah kegagalan. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal,dan mungkin kita perlu mengedukasi siswa untuk hal tersebut.


Dilansir dari Satu Persen (2021), beberapa orang mungkin masih memandang kegagalan dan keberhasilan dalam kacamata hitam putih, atau pemikiran all or nothing thinking. Pemikiran ini pada dasarnya membuat manusia berpikir bahwa saat mereka menerima satu kegagalan, maka pada kesempatan selanjutnya mereka akan selau ditimpa dengan kegagalan. Seolah pilihan kehidupan harus berhasil terus, atau sebaliknya.


Tentunya, pemikiran ini seharusnya bisa ditanggulangi dengan memberikan edukasi mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi kegagalan. Sebelum itu, mungkin akan lebih baik juga untuk mengedukasi siswa bahwa merasakan emosi sedih saat gagal adalah hal yang manusiawi dan memberi waktu bagi diri sendiri untuk mencerna perasaan tersebut adalah hal yang penting. Siswa harus sadar akan pentingnya mempelajari cara mengolah emosi dan sadar akan esensi belajar dari setiap stase yang ada di hidup mereka, termasuk stase gagal, dalam konteks apapun itu.


Sebagaimana kita bisa menormalisasi edukasi mengenai menyembuhkan luka fisik, mungkin kita bisa juga menormalisasikan pembelajaran mengenai emosi dan luka batin. Sekolah bisa saja bekerjasama dengan pihak psikolog yang sudah tersedia di puskemas-puskesmas daerah untuk hal ini untuk mencapai tujuan membentuk pribadi siswa/i yang lebih baik lagi.


Demi membentuk pelajar yang paham akan esensi diri sendiri, membuat keputusan, dan kondisi mental yang baik, karena memahami tujuan diri dan emosi; tidak ada rumus tetapnya.




Bagi teman-teman yang tertarik untuk mengikuti layanan mentoring Satu Persen bisa klik link disini :

Layanan mentoring Satu Persen : https://satupersen.net/layanan/konsultasi/konseling



Pun juga bagi teman-teman yang ingin mengikuti tes online gratis Satu Persen bisa klik link disini :

Tes Online Satu Persen : https://satupersen.net/quizzes



Halo! Namaku Qonita Aryana dan artikel ini dibuat dalam rangka kegiatan Education Rangers yang diadakan oleh Satu Persen. Jika kamu tertarik dalam dunia pendidikan dan ingin berdiskusi dengan hal yang aku tulis di artikel ini, aku sangat terbuka untuk ruang diskusi tersebut! #EducationRangerSatuPersen




Referensi


Watkins, C. (2015). Meta-learning in classrooms. The Sage handbook of learning, 321-30.  Retrieved from marianjournals.com/files/IJEPC_articles/Vol_9_no_1_and_2_2019/Szabo_IJEPC_2019_1_2_199_205.pdf


Mubasyiroh, R., Suryaputri, I. Y., & Tjandrarini, D. H. (2017). Determinan gejala mental emosional pelajar SMP-SMA di Indonesia tahun 2015. Indonesian Bulletin of Health Research, 45(2), 103-112. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/68034-ID-determinan-gejala-mental-emosional-pelaj.pdf


Satu Persen (2021). Tips Untuk Kamu yang Sedang Merasa Gagal (Menghadapi Kegagalan). Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=DFAKNEyL_xw&t=273s


Satu Persen (2019). Cara Mengenali Diri Sendiri. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=YOW7RUarrf8&t=241s




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Or Maybe, Being Clueless (In An Era that Slightly Force You to Become An Omniscient); Is Not A Bad Thing After All

Pendidikan Karakter dan Prinsip Pola Pikir : Pondasi Belajar yang Jarang Diajarkan di Sekolah