Measuring The Comfort Zone
cr |
Sampai di titik sekarang kita berada, pasti pernah seenggaknya sekali baca kalimat, “Change begins at the end of your comfort zone.” Quote tentang zona nyaman ini sendiri aku baca pertama kali waktu duduk di bangku sekolah. Gak hanya ¬quote-nya aja, sampai sekarang pun udah di luar kapasitas jari tangan dan kaki denger ceramah banyak orang tentang pentingnya “keluar dari zona nyaman” ini sendiri.
Tapi pernah gak kepikiran,
Memang dalam cakupan apa sih zona nyaman kita yang harus ditinggalkan ini?
This question popped off in my head when I was a child, sampai akhirnya setelah lulus bangku sekolah dasar pun aku masih gak bisa jawab pertanyaan ini. Later on, I know it was because back then, I haven’t felt any uncomfortable feelings… yet. Sampai akhirnya kehidupan bangku sekolah menengah pertama datang, dan disuguhkanlah kehidupan asrama yang buat aksi ‘meninggalkan rumah’ jadi sebuah keharusan.
Seminggu di asrama, satu yang aku pahami setelah itu;
“Asrama bukan comfort zone aku.”
Padahal seminggu sebelumnya belum sepenuhnya ngerti definisi ‘comfort zone’ ya.
Namun, seminggu pertama memang penuh rasa kaget, sedih, inget rumah, dan hal-hal serupa lainnya. Pertama kalinya berteman sama rasa nggak nyaman, bersahabat sama rasa ingin pulang, ketemu sama rasa-rasa nggak enak yang nggak pernah dirasa sebelumnya.
And as the word ‘comfort’ should mean the situation that makes us feel safe, at that time, I felt the opposite feeling of it.
Lalu, enam bulan pertama aku habiskan dengan bertarung sama rasa-rasa tersebut. Remaja awal umur tiga belas tahun yang kemudian belajar hal baru bernama adaptasi dan berdamai dengan lingkungan sekitar.
In short, I made it.
Tiga tahun kemudian lulus dan keluar asrama (malah) dengan perasaan berat. The hardest hello turned into the hardest goodbye. Tingkat pertama yang penuh rasa berat kalau harus balik asrama berubah jadi hari pertama balik rumah dan bangun-bangun rasanya sepi karena nggak sekamar sama teman-teman lagi.
Tapi apakah fenomena “stepping out of comfort zone” ini cuma sekali aja?
Ya, nggak.
Karena setelah itu datang kehidupan putih abu yang mengharuskan untuk adaptasi lagi, belajar lagi, ketemu sama orang baru lagi, ketemu sama beberapa perasaan kurang nyaman pas di awal lagi, tau-tau lulus dan ketika udah gak sekolah lagi, ya kangen lagi.
Pun sekarang sedang di babak selanjutnya yakni kehidupan tahun pertama kuliah yang harus adaptasi lagi, belajar lagi, orang baru lagi, beberapa perasaan kurang nyaman lagi, dan hal-hal yang sama dalam siklusnya.
Siklusnya sama,
Tapi satu yang aku sadari,
Zonanya sekarang sudah jauh beda.
Dulu waktu sebelum nyicip dunia asrama, zona nyaman ya rumah dan teman-teman sekitarnya.
Lulus sekolah menengah pertama, gedung SMP yang pernah jadi fear zone tetiba masuk jadi di zona nyaman juga.
Dilanjut kehidupan SMA yang dulu pernah dirasa asing, tetiba jadi familiar dan hangat.
Zona nyamannya nggak berpindah dan nggak berubah,
tapi meluas dan meruah.
It does not change,
It expands.
Karena ternyata seiring kita sendiri juga tumbuh dan berkembang,
Zona nyaman kita juga mengikuti.
cr |
Hal ini baru-baru ini aku pikirkan dalam ketika dihadapkan sama beberapa hal yang bikin kurang nyaman, hal-hal yang kita biasa jumpai yang bikin kita cuma bisa berharap mukjizat nembus dinding ruang dan waktu bisa terjadi ke kita biar balik aja ke umur lima, maupun perasaan pingin kabur dari semua urusan yang ada.
Sampai terus setelah didalami lagi perasaannya, muncul pertanyaan, “Kok kaya pernah ya sebenernya ngerasain ini?”
Lalu, beberapa hari terakhir reunian sama tembang Pompeii-nya Bastille yang dulu rajin didengerin, terus sekarang pas denger ada part di liriknya yang bikin merenung lama,
“And if you close your eyes,
Does it almost feel like;
You’ve been here before?”
We really are facing the different yet the same thing throughout our growing up phase, ya. Bahwa kalau aku tarik benang merah di kejadian-kejadian ini, meski rintangan yang dihadapi makin besar tiap waktunya, meski rintangannya memang sudah kodratnya bertambah sulit seiring bertumbuh dewasa, dan meski zona nyamannya juga selalu melebar tiap fasenya; pada akhirnya semua selalu jatuh ke pembelajaran penyesuaian diri.
-
“How am I gonna be an optimist about this?”
lanjut Bastille.
(Terus merenung lagi)
Kesadaran akan siklus rintangan yang selalu ada ini nggak jarang bikin pesimis nggak, sih? Bikin jadi skeptis dan merasa bahwa ketika sudah lewat satu rintangan, jadi nggak merasa sepenuhnya senang karena langsung terbayang rintangan yang pasti akan datang lagi di depan. Kacamata yang dipakai buat lihat dunia rasanya jadi negatif sekali karena ketika satu fase penyesuaian diri dan peluasan zona nyaman sudah lewat, yang di kepala cuma pusing lagi tentang ragu dan takut dengan penyesuaian diri yang akan dihadapi di depan.
Sampai akhirnya suatu sore di dalam perjalanan pulang, Ibu nyeletuk,
“Di berbagai kesempatan yang dihadapi di hidup,
Energi kita harus bisa dipakai buat cari hal-hal yang bisa buat nyaman dan bertahan dong, Nduk.”
And I was having a hard time switching my ‘glasses’ to see this whole thing.
Karena selama ini yang dilihat ternyata ya pakai lensa pesimis, ragu, dan takut.
Sampai akhirnya di malam-malam sebelum tidur,
yang kebetulan hari itu berasa panjang dan penuh rasa nggak nyaman
satu pikiran datang di kepala,
“Kalau dulu minggu pertama di asrama yang penuh rasa nggak nyaman bisa berubah dan masuk ke zona nyaman, kalau dulu bangku menengah atas yang dirasa canggung pas pertama datang bisa masuk ke zona nyaman,
Then this whole place and situation you are currently stressing out,
will also become your comfort zone too.
Someday, you will include ‘this’ in your safe zone, too
Or if it won’t,
You’ll remember this as a phase that you’ve successfully passed.
As He once promised to not burden a soul beyond one can bear, dear.
Hang in there.
You are made to get through this.”
-
And I got the answer, dear Bastille.
//
Jadi,
Sudah berapa luas zona nyamanmu,
Dan sudah berapa siap masukkan rintangan yang sedang di hadapi
Tuk jadi bagian dari zona tersebut jua?
“We are indeed made of strength.”
Warm regards,
Oni.
Komentar
Posting Komentar